Sejarah Kota
Mengawali sejarahnya sebagai kota pelabuhan kecil bernama Sunda Kelapa
Sunda Kelapa dibawah kekuasaan dinasti Pajajaran, kerajaan Hindu terakhir di
Jawa Barat. Pada zaman itu bangsa Portugis merupakan orang asing pertama
yang menginjakkan kakinya di pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka datang dari Malaka pada tahun 1522 sebagai utusan Gubernur Malaka.
Setelah berhasil mengadakan perjanjian dengan penguasa Sunda Kelapa maka mereka dizinkan untuk mendirikan benteng di dekat muara Sungai Ciliwung.
Tahun 1527 orang-orang Portugis tersebut kembali dengan membawa sebuah
armada kecil tanpa mengetahui bahwa Sunda Kelapa sudah jatuh ke tangan
Fatahillah. Terjadilah pertempuran di sekitar Teluk Jakarta yang akhirnya
dimenangkan oleh Fatahillah. Untuk merayakan kemenangan itu Fatahillah
memberikan nama batu bagi Sunda Kelapa menjadi Jayakarta artinya “Kemenangan sempurna”. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 yang selanjutnyadijadikan sebagai hari jadi
Belanda pertama kali datang ke Jayakarta tahun 1596 dibawah pimpinan
Cornelis de Houtman. Setelah mendirikan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602 Belanda semakin kuat kedudukannya. Pada awal abad ke-16 itu para pedagang dari Belanda dan Inggris yang membuka pos
perdagangannya di Jayakarta. Mereka kemudian saling bersaing berebut pengaruh
di Jayakarta dan mengambil bagian dalam setiap konflik yang terjadi diantara
para penguasa lokal untuk mendapatkan keuntungan.
Pada akhir tahun 1618, Inggris berhasil mengambil hati masyarakat setempat
untuk menduduki pos perdagangan Belanda,. Belanda kemudian mundur dari
Jayakarta dan membuka benteng baru yang dinamakan Batavia. Pada bulan May
1619, dipimpin Jan Pieterszoon Coen, Belanda menyerbu Jayakarta, menghancurkan kota dan membangun kota baru bernama Batavia. Coen kemudian membangun benteng yang besar dan kuat di sepanjang pantai ia kemudian menjadikan Batavia sebagai ibukota VOC.
Benteng ini ternyata mampu bertahan dari berbagai serangan termasuk
serbuan dari Kesultanan Banten di barat dan Kerajaan Mataram di timur. Raja
Mataram Sultan Agung menyerang Batavia pada tahun 1628, namun serangan itu
gagal total dan menimbulkan kerugian besar bagi Mataram.
Pasukan Mataram mundur dari Batavia setelah menghukum mati panglima perangnya. Serbuan kedua Mataram dilancarkan pada tahun 1629, namun gagal lagi dan menimbulkan kerugian yang lebih besar, sejak saat itu Mataram tidak pernah mencoba lagi untuk mengganggu Batavia.
Kekuasaan Belanda di Batavia berakhir ketangan pendudukan tentara Jepang
tahun 1942 dan namanya berubah menjadi Jakarta mengakhiri kekuasaan Belanda
yang selama 350 tahun menjajah Indonesia.
Pemerintahan Republik Indonesia sempat pindah ke Yogyakarta ketika Belanda kembali ke Indonesia menyusul kemenangan Sekutu pada Perang Dunia ke-2, namun pada tahun 1950 setelah kemerdekaan Indonesia diakui sepenuhnya, Jakarta kembali menjadi ibukota dengan status sebagai kotapraja di bawah pimpinan walikota.
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, Ir. Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia berambisi menjadikan Jakarta sebagai kota bergengsi yang dikagumi dunia, berbagai gedung megah dan
monumenpun dibangun sebagai proyek mercu suar. Hotel Indonesia adalah hotel
mewah pertama yang dibangun terdiri dari 14 tingkat berdiri mencakar langit,
jalan Thamrin yang lebar dibangun, stadion raksasa Senayan didirikan yang
digunakan untuk pesta olah raga Asian Games tahun 1962, pembanguan masjid
Istiqlal dan Monumen Nasional (Monas) pun dimulai.
Pada tahun 1964 status kota Jakarta dinaikkan setingkat provinsi dan disebut
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) di bawah pimpinan gubernur. Seiring bergulirnya reformasi dan diberlakukannya otonomi daerah, pada tahun 1999 Jakarta dikukuhkan menjadi Propinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.
Jayakarta
Jayakarta dibangun atas perintah Fatahillah sejak tanggal 22 juni 1527. Berkembang menjadi kota pelabuhan internasional, berbagai bangsa tinggal di sini sehingga membentuk budaya campuran, sayangnya kota Jayakarta hancur tak berbekas lagi akibat serangan VOC Belanda tahun 1619. Fatahillah memberi nama kota barunya bernama Jayakarta, nama ini diilhami dari Al-Qur’an surat Al Fath yang berbunyi “Inna fatahna laka fathan mubinan” yang artinya “sesungguhnya Kami telah memberi kemenangan kepadamu, kemenangan yang tegas” Kemenangan yang tegas ini dialih bahasakan menjadi Jayakarta. Berita pertama tentang kota Jayakarta diperoleh dari orang-orang Belanda yang datang dengan kapal Holandia 1596, mereka menceritakan bahwa kota Jayakarta terletak di sebelah barat muara sungai Ciliwung, kotanya dikelilingi oleh pagar kayu. Pada abad 17 pagar kayu tersebut diganti tembok bata. Tata kota Jayakarta merupakan pola dasar yang tidak berbeda dengan kota-kota pusat kerajaan Banten, Cirebon, Demak yang keratonnya terletak disebelah selatan menghadap ke utara dimana terdapat alun-alun. Di sebelah barat alun-alun terdapat masjid, di sebelah utara alun-alun terdapat pasar, sedangkan pemukiman penduduk terletak di kanan kiri sungai ciliwung.
Menurut beberapa literature Pusat pemerintahan Jayakarta letaknya sekarang berada persis di tempat berdirinya Hotel Omni Batavia.
Batavia dibangun oleh Jan Pieterzoon Coen pada tanggal 30 mei 1619 dengan tujuan menjadikan kota ini sebagai kota internasional. J.P Coen khawatir dengan serangan musuh sehingga kota ini dilindungi tembok keliling dan parit. Pada tahun 1619 kota Jayakarta ditaklukkan dan jatuh ke tangan Belanda. Nama Jayakarta pun akhirnya dirubah menjadi Batavia. Diatas sisa reruntuhan kota Jayakarta, Belanda membangun Batavia yang struktur kotanya mirip dengan Amsterdam.
Pemukimannya dalam bentuk blok yang dipisahkan dengan kanal dan jalan.
OUD
Kota Batavia lama (oud Batavia) wilayahnya tidaklah begitu luas. Dahulu, kota dikelilingi tembok dan parit. Luasnya dari daerah sekitar Menara Syahbandar di Pasar Ikan sampai Jl. Asemka atau Jl. Jembatan Batu sekarang. Rencana kota Batavia ini dirancang oleh Simon Stevin atas permintaan dewan pemerintah VOC di Belanda (1618). Dalam benak JP. Coen, Batavia akan dijadikan ibukota suatu kerajaan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai Jepang dengan orang Belanda yang memonopolinya. Ia juga memerintahkan untuk membangun Galangan Kapal dan rumah sakit, berbagai rumah penginapan dan toko di Pualu Ontrust , dua buah gereja (di dalam dan di luar benteng) dan sebuah sekolah (tidak jelas lokasinya).
Tidak semua mimpi Coen membuahkan hasil. Coen yang adalah pendiri Batavia terlampau dianggap kontroversial serta bahkan oleh sejarahwan kolonial abad ke-20, J.A.van den Chijs, dikatakan bahwa "namanya selalu berbau darah." Namun, terlepas dari semua itu, pada ulang tahun Batavia ke 250 pada tahun1869 di Waterloo Plein (Lapangan Banteng), dibangunkan patung JP Coen yang berpose gaya Napoleon. Namun, pada masa perang, orang Jepang melebur patung tersebut menjadi logam tua.
Adapun pusat kotanya adalah bekas Balai
Pada awalnya kegiatan-kegiatan di dalam Balai Kota selain mengurus masalah pemerintahan juga mengurus masalah perkawinan, peradilan dan perdagangan sehingga dahulu masyarakat mengenalnya sebagai "Gedung Bicara". Kemudian, Balaikota ini juga menjadi penjara yang sangat menyeramkan di samping juga digunakan sebagai pusat milisi atau schutterij dari tahun 1620 sampai 1815. Komandannya adalah ketua Dewan Kotapraja. Milisi terdiri dari jurutulis dan warga kota Belanda lain, orang Mardijker dan kompi-kompi pribumi dari suku yang berbeda. Terdapat antara lain, milisi orang Jawa, orang Bugis, orang Melayu dan orang
Pada bulan Agustus 1816 Balai Kota menjadi tempat peristiwa bersejarah: Sir John Fendall mengembalikan Hindia kepada Belanda, sehingga berakhirlah pemerintahan sementara Inggris (1811-1816). Pada tahun 1925 gedung Balaikota ini menjadi kantor pemerintahan Propinsi Jawa Barat sampai Perang Dunia II. Pemerintah kotapraja Batavia pindah ke tempatnya sekarang di Medan Merdeka Selatan di samping gedung bertingkat Pemerintah DKI Jakarta sekarang. Seusai Perang Dunia II, gedung Balai Kota itu dipakai sebagai markas tentara (Kodim 0503). Pada masa Gubernur Ali Sadikin, gedung ini dipugar dengan sangat baik, dan sejak 1974 menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Sementara itu, bentuk kota Batavia awal direncanakan sesuai dengan kebiasaan Belanda, dengan jalan-jalan lurus dan parit-parit. Pengembangan kota ini pun tidak surut walaupun pada tahun 1627 dan 1629 kota Batavia dikurung tentara Mataram.
Sepeninggal JP Coen (1629), perkembangan kota makin pesat di bawah Gubernur Jendral Jacques Specx. Kali Besar yang semula berkelok diluruskan menjadi parit terurus dan lurus menerobos kota. Kastil atau benteng yang adalah tempat kediaman dan kantor pejabat tinggi pemerintah VOC di keempat kubunya ditempatkan meriam serta tentara untuk menjaga kediaman pejabat tinggi itu serta barang-barang berharga yang tersimpan di balik tembok kuatnya.
Di seberang kali Besar dan kubangan yang menjorok ke barat laut, didirikan Bastion Culemborg untuk mengamankan pelabuhan. Bastion atau kubu ini sekarang masih ada. Pada tahun 1839 Menara Syahbandar didirikan di dalamnya. Di belakang tembok kota, yang mulai berdiri dari Culemborg lalu mengelilingi seluruh kota sampai tahun 1809, dibangun berbagai gudang di tepi barat (pertengahan abad ke-17). Gudang-gudang ini dipakai untuk menyimpan barang dagangan seperti pala, lada serta kemudian kopi serta teh. Sebagian besar gudang penting ini sekarang digunakan sebagai Museum Bahari.
Lebih tua dari semua gudang tersebut adalah Compagnies Timmer-en Scheepswerf (Bengkel Kayu dan Galangan Kapal Kumpeni). Tanah tempat Museum Bahari berdiri pada waktu galangan ini mulai beroperasi masih merupakan rawa-rawa dan empang. Galangan kapal sudah berfungsi di tempat sekarang ini juga sejak 1632, di atas tanah urukan di tepi barat Kali Besar. Sampai penutupan Ciliwung di Glodok (1920), Kali Besar ini menyalurkan air Ciliwung ke Pasar Ikan. Tetapi, kini hanya air Kali Krukut sajalah yang mengalir melalui Kali Besar.
Tentang Kali Besar ini, hingga awal abad ke-18 merupakan daerah elit
Namun, pada akhir abad ke-18, citra Ratu Timur itu menurun drastis. Willard A. Hanna (Hikayat Jakarta) mencatat, bahwa kejadian itu diawali oleh gempa bumi yang bukan main dahsyatnya, malam tanggal 4 dan 5 November 1699, yang menyebabkan kerusakan besar pada gedung-gedung dan mengacaukan persediaan air dan memporak-porandakan sistem pengaliran air di seluruh daerah. Gempa itu disertai letusan-letusan gunung api dan hujan abu yang tebal, yang menyebabkan terusan-terusan menjadi penuh lumpur. Aliran sungai Ciliwung berubah dan membawa sekian banyak endapan ke tempat dimana sungai itu mengalir ke laut, sehingga kastil yang semula berbatasan dengan laut, seakan-akan mundur sedikit-dikitnya 1 kilometer ke arah pedalaman.
Sebagian untuk menanggulangi masalah-masalah penyaluran air dan sebagian pula untuk membuka daerah baru di pinggiran kota, pihak berwajib telah mengubah sistem terusan yang ada secara besar-besaran. Pembukaan terusan baru yang penting tepat di sebelah selatan kota pada tahun 1732, jatuh bersamaan waktunya dengan wabah besar pertama suatu penyakit, yang sekarang diduga adalah malaria, suatu bencana baru bagi penduduk kota, yang berulang kali menderita disentri dan kolera (pada zaman itu belum diketahui, setidaknya di Batavia, bahwa kuman dalam air akan mati kalau air dimasak sampai mendidih, namun menurut de Haan penduduk Banjarmasin pada 1661 dan Ambon akhir abad ke-17 sudah memasak air untuk membunuh bakteri, walaupun binatang ini belum dikenal. Sejak 1744 pasien di rumah sakit diberi teh dan kopi, karena air putih sudah tercemar. Pada tahun 1753 Gubernur Jenderal Mossel atas nasehat seorang dokter menganjurkan supaya air kali dipindahkan dari tempayan ke tempayan dengan membiarkan kotorannya mengendap sampai tampak bersih. Lalu tidak usah dimasak. Sampai akhir abad ke-19 banyak orang tak peduli dan minum air Ciliwung begitu saja).
Hampir tidak dapat dibayangkan betapa tidak sehatnya daerah kota dan sekitarnya pada abad ke-18. Orang-orang kaya memang mampu meninggalkan rumah mereka di Jl. Pangeran Jayawikarta (Jayakarta) dan pindah ke selatan, ke kawasan Jl. Gajah Mada dan Lapangan Banteng sekarang. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang miskin, sehingga bahkan tidak mampu lagi untuk dikubur secara layak. Dan, mereka pun kemudian dikubur di pekuburan budak-belian, di lokasi yang kini menjadi tempat langsir Stasiun Kota di sebelah utara Geraja Sion. Karena itu pula, Batavia di akhir abad ke-18 mendapat julukan baru sebagai Het Graf der Hollander (kuburan orang Belanda).
Akibat berikutnya, sesudah 1798, banyak gedung besar di dalam kota juga kampung lama para Mardijker yang digunakan sebagai 'tambang batu' untuk membangun rumah baru di daerah yang letaknya lebih selatan. 'Tambang batu' ini terjadi karena begitu banyak orang susah mendapatkan makanan dan karena wilayah di selatan kota tengah dibangun, maka orang-orang miskin kala itu banyak yang menggugurkan rumahnya dan menjual bebatuannya untuk memperoleh makanan. Dan, John Crawfurd dalam bukunya Descriptive Dictionary of the
"Orang Belanda tidak memperhatikan perbedaan sekitar empat puluh
Penanggulangan keadaan buruk itu baru dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal Daendels pada zaman Prancis tahun 1809 (zaman Prancis sesungguhnya hanya berlangsung dari bulan Februari sampai Agustus 1811). Penanggulangan tersebut diteruskan sampai pada 1817 di bawah pemerintahan Belanda yang ditegakkan kembali. Banyak kali ditimbun dan kiri-kanan sungai dibentengi tanggul sampai sejauh satu mil masuk teluk. Operasi yang dilanjutkan oleh para insinyur yang cakap, berhasil menormalkan arus sungai tersebut. Sesudahnya Batavia tidak kurang sehat daripada kota pantai tropis manapun. Bagian kota yang baru atau pinggiran kota tidak pernah mempunyai reputasi jelek."
Sementara itu, pada 9 Mei 1821 Bataviasche Courant melaporkan, bahwa 158 orang meninggal akibat kolera di kota dan tiga hari kemudian 733 korban lagi di seluruh wilayah Batavia. Rumah sakit masih sangat jelek dan hanya orang-orang yang sangat kuat saja yang dapat meninggalkan bangsal rumah sakit dalam keadaan hidup.
Tragedi ini menjadi akhir kisah Oud Batavia dan menjadi awal pembentukan Niew Batavia (Batavia Baru) di tanah Weltevreden (sekitar Gambir sekarang ini). Inilah tragedi mengerikan tentang sebuah
SUNDA KELAPA
Sunda Kelapa adalah nama sebuah pelabuhan dan tempat sekitarnya di Jakarta, Indonesia. Pelabuhan ini terletak di kelurahan Penjaringan, kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Meskipun sekarang Sunda Kelapa hanyalah nama salah satu pelabuhan di Jakarta, daerah ini sangat penting karena desa di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa adalah cikal-bakal kota Jakarta yang hari jadinya ditetapkan pada tanggal 22 Juni 1527. Kala itu Sunda Kelapa milik Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang kota Bogor)yang direbut oleh pasukan Demak dan Cirebon. Walaupun hari jadi kota Jakarta baru ditetapkan pada abad ke-16, sejarah Sunda Kelapa sudah dimulai jauh lebih awal, yaitu pada jaman pendahulu Kerajaan Sunda, yaitu kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Tarumanagara pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kelapa menggunakan bahasa Malayu yang umum di Sumatera, yang kemudian dijadikan bahasa nasional, jauh sebelum peristiwa Sumpah Pemuda.
Sejarah
Pelabuhan Sunda Kelapa telah dikenal semenjak abad ke-12 dan kala itu merupakan pelabuhan terpenting Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran. Kemudian pada masa masuknya Islam dan para penjelajah Eropa, Sunda Kelapa diperebutkan antara kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Akhirnya Belanda berhasil menguasainya cukup lama sampai lebih dari 300 tahun. Para penakluk ini mengganti nama-nama pelabuhan Sunda Kelapa dan daerah sekitarnya. Namun pada awal tahun 1970-an, nama kuno "Sunda Kelapa" kembali digunakan sebagai nama resmi pelabuhan tua ini.
Masa Hindu-Buddha
Menurut sumber Portugis, Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kelapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti kota) dalam tempo dua hari.
Pelabuhan ini telah dipakai sejak zaman Tarumanagara dan diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5 dan saat itu disebut Sundapura. Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik Kerajaan Sunda, yang memiliki ibukota di Pakuan Pajajaran atau Pajajaran yang saat ini menjadi Kota Bogor. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Masa Islam dan awal kolonialisme Barat
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, para penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut dunia. Bangsa Portugis berlayar ke Asia dan pada tahun 1511, mereka bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di Semenanjung Malaka. Malaka dijadikan basis untuk penjelajahan lebih lanjut di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Tome Pires, salah seorang penjelajah Portugis, mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia menggambarkan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa ramai disinggahi pedagang-pedagang dan pelaut dari luar seperti dari Sumatra, Malaka, Sulawesi Selatan, Jawa dan Madura. Menurut laporan tersebut, di Sunda Kelapa banyak diperdagangkan lada, beras, asam, hewan potong, emas, sayuran serta buah-buahan.
Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.
Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa untuk melawan orang-orang Cirebon yang bersifat ekspansif. Sementara itu kerajaan Demak sudah menjadi pusat kekuatan politik Islam. Orang-orang Muslim ini pada awalnya adalah pendatang dari Jawa dan merupakan orang-orang Jawa keturunan Arab.
Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu peringatan atau padraõ dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Kerajaan Demak menganggap perjanjian persahabatan Sunda-Portugal tersebut sebagai sebuah provokasi dan suatu ancaman baginya. Lantas Demak menugaskan Fatahillah untuk mengusir Portugis sekaligus merebut kota ini. Maka pada tanggal 22 Juni 1527, pasukan gabungan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) merebut Sunda Kelapa. Tragedi tanggal 22 Juni inilah yang hingga kini selalu dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta. Sejak saat itu nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha" dari bahasa Sansekerta jayakarta
Masa kolonialisme Belanda
Kekuasaan Demak di Jayakarta tidak berlangsung lama. Pada akhir abad ke-16, bangsa Belanda mulai menjelajahi dunia dan mencari jalan ke timur. Mereka menugaskan Cornelis de Houtman untuk berlayar ke daerah yang sekarang disebut
Menurut catatan sejarah, pelabuhan Sunda Kelapa pada masa awal ini dibangun dengan kanal sepanjang 810 meter. Pada tahun 1817, pemerintah Belanda memperbesarnya menjadi 1.825 meter. Setelah zaman kemerdekaan, dilakukan rehabilitasi sehingga pelabuhan ini memiliki kanal sepanjang 3.250 meter yang dapat menampung 70 perahu layar dengan sistem susun sirih.
Abad ke-19
Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya. Akibat pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di dekat pelabuhan sehingga barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan perahu-perahu. Kota Batavia saat itu sebenarnya sedang mengalami percepatan dan sentuhan modern (modernisasi), apalagi sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869 yang mempersingkat jarak tempuh berkat kemampuan kapal-kapal uap yang lebih laju meningkatkan arus pelayaran antar samudera. Selain itu Batavia juga bersaing dengan Singapura yang dibangun Raffles sekitar tahun 1819.
Maka dibangunlah pelabuhan samudera Tanjung Priok, yang jaraknya sekitar 15 km ke timur dari Sunda Kelapa untuk menggantikannya. Hampir bersamaan dengan itu dibangun jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia - Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya (1869) muncul trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya.
Selain itu pada pertengahan abad ke-19 seluruh kawasan sekitar menara syahbandar yang ditinggali para elit Belanda dan Eropa menjadi tidak sehat. Dan segera sesudah wilayah sekeliling Batavia bebas dari ancaman binatang buas dan gerombolan budak pelarian, banyak orang Sunda Kalapa berpindah ke wilayah selatan.
Abad ke-20
Pada masa pendudukan oleh bala tentara Dai Nippon yang mulai pada tahun 1942, Batavia diubah namanya menjadi Jakarta. Setelah bala tentara Dai Nippon keluar pada tahun 1945, nama ini tetap dipakai oleh Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. Kemudian pada masa Orde Baru, nama Sunda Kelapa dipakai kembali. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.D.IV a.4/3/74 tanggal 6 Maret 1974, nama Sunda Kelapa dipakai lagi secara resmi sebagai nama pelabuhan. Pelabuhan ini juga biasa disebut Pasar Ikan karena di situ terdapat pasar ikan yang besar.
Sunda Kelapa dewasa ini
Pada saat ini Pelabuhan Sunda Kelapa direncanakan menjadi kawasan wisata karena nilai sejarahnya yang tinggi. Saat ini Pelabuhan Sunda Kelapa adalah salah satu pelabuhan yang dikelola oleh PT Pelindo II yang tidak disertifikasi International Ship and Port Security karena sifat pelayanan jasanya hanya untuk kapal antar pulau.
Saat ini pelabuhan Sunda Kelapa memiliki luas daratan 760 hektar serta luas perairan kolam 16.470 hektar, terdiri atas dua pelabuhan utama dan pelabuhan Kalibaru. Pelabuhan utama memiliki panjang area 3.250 meter dan luas kolam lebih kurang 1.200 meter yang mampu menampung 70 perahu layar motor. Pelabuhan Kalibaru panjangnya 750 meter lebih dengan luas daratan 343.399 meter persegi, luas kolam 42.128,74 meter persegi, dan mampu menampung sekitar 65 kapal antar pulau dan memiliki lapangan penumpukan barang seluas 31.131 meter persegi.
Dari segi ekonomi, pelabuhan ini sangat strategis karena berdekatan dengan pusat-pusat perdagangan di Jakarta seperti Glodok, Pasar Pagi, Mangga Dua, dan lain-lainnya. Sebagai pelabuhan antar pulau Sunda Kelapa ramai dikunjungi kapal-kapal berukuran 175 BRT. Barang-barang yang diangkut di pelabuhan ini selain barang kelontong adalah sembako serta tekstil. Untuk pembangunan di luar pulau Jawa, dari Sunda Kelapa juga diangkut bahan bangunan seperti besi beton dan lain-lain. Pelabuhan ini juga merupakan tujuan pembongkaran bahan bangunan dari luar Jawa seperti kayu gergajian, rotan, kaoliang, kopra, dan lain sebagainya. Bongkar muat barang di pelabuhan ini masih menggunakan cara tradisional. Di pelabuhan ini juga tersedia fasilitas gudang penimbunan, baik gudang biasa maupun gudang api.
Dari segi sejarah, pelabuhan ini pun merupakan salah satu tujuan wisata bagi DKI. Tidak jauh dari pelabuhan ini terdapat Museum Bahari yang menampilkan dunia kemaritiman Indonesia masa silam serta peninggalan sejarah kolonial Belanda masa lalu.
Di sebelah selatan pelabuhan ini terdapat pula Galangan Kapal VOC dan gedung-gedung VOC yang telah direnovasi. Selain itu pelabuhan ini direncanakan akan menjalani reklamasi pantai untuk pembangunan terminal multifungsi Ancol Timur sebesar 500 hektar.
Menyusuri Kota Tua Jakarta
KOTA Jakarta yang selalu bertambah usianya sebenarnya memiliki banyak kawasan historis, salah satunya adalah kawasan kota. Berada di kawasan ini memberikan nuansa lain dari kebanyakan kawasan ibu kota.Tur Kota Tua Jakarta dimulai dari Pelabuhan Sunda Kelapa dan berakhir di Taman Fatahillah.
Cikal bakal Pelabuhan Sunda Kelapa
Pelabuhan Sunda Kelapa kini merupakan pelabuhan bongkar muat barang, utamanya kayu dari Pulau Kalimantan. Di sepanjang pelabuhan berjajar kapal-kapal phinisi atau Bugis Schooner dengan bentuk khas, meruncing pada salah satu ujungnya dan berwarna-warni pada badan kapal. Setiap hari tampak pemandangan para pekerja yang sibuk naik turun kapal untuk bongkar muat.
Pelabuhan Sunda Kelapa sebetulnya telah terdengar sejak abad ke-12. Kala itu pelabuhan ini sudah dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat, Pajajaran, terletak dekat Kota Bogor sekarang. Kapal-kapal asing yang berasal dari Cina, Jepang, India Selatan, dan Arab sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi kekayaan tanah air saat itu.
Bangsa Eropa pertama asal Portugis tiba pertama kali di Sunda Kelapa tahun 1512 untuk mencari peluang perdagangan rempah-rempah dengan dunia barat. Keberadaan mereka ternyata tidak berlangsung lama, setelah gabungan kekuatan Muslim Banten dan Demak, dipimpin Sunan Gunungjati (Fatahillah), menguasai Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta ("kemenangan yang nyata") tanggal 22 Juni 1527.
Setelah Portugis hengkang , para pedagang asal Belanda tiba tahun 1596 dengan tujuan yang sama, mencari rempah-rempah. Rempah-rempah sangat dicari saat itu dan menjadi komoditas luks di Belanda karena berbagai khasiatnya seperti obat, penghangat badan, dan bahan wangi-wangian. Para pedagang Belanda (yang kemudian tergabung dalam VOC) awalnya mendapat sambutan hangat dari Pangeran Wijayakrama dan membuat perjanjian.
Namun, tergiur dengan potensi pendapatan yang tinggi dari penjualan rempah-rempah di negara asalnya, VOC mengingkari perjanjian dan mendirikan benteng di selatan Pelabuhan Sunda Kelapa. Benteng ini, selain berfungsi sebagai gudang penyimpanan barang, juga digunakan sebagai benteng perlawanan dari pasukan Inggris yang juga berniat untuk menguasai perdagangan di Nusantara.
Benteng tersebut dibangun tahun 1613, sekira 200 meter ke arah selatan Pelabuhan Sunda Kelapa. Pada tahun 1839 di lokasi ini didirikan Menara Syahbandar yang berfungsi sebagai kantor pabean, atau pengumpulan pajak dari barang-barang yang diturunkan di pelabuhan. Lokasi menara ini menempati salah satu bastion (sudut benteng) yang tersisa.
Sekira 50 meter ke arah barat menara terdapat Museum Bahari. Di dalam museum ini dapat disaksikan peralatan asli, replika, gambar-gambar dan foto-foto yang berhubungan dengan dunia bahari di Indonesia, mulai dari zaman kerajaan hingga ekspedisi modern. Museum ini sebetulnya menempati bangunan gudang tempat menyimpan barang-barang dagang VOC di abad 17 dan 18, dan tetap dipertahankan kondisi aslinya untuk kegiatan pariwisata. Bahkan sebagian bangunannya bisa disewa untuk acara-acara pribadi. Pada sisi utara museum masih terdapat benteng asli yang menjadi benteng bagian utara.
Memasuki Jln. Tongkol di selatan museum, kita akan tiba di lokasi bekas bengkel kapal VOC atau dikenal juga dengan VOC Shipyard . Di sini, pada masa lalu, kapal-kapal yang rusak diperbaiki. Saat ini, bangunan memanjang dengan jendela-jendela segi tiga di atapnya tersebut direvitalisasi sebagai restoran dengan tetap mempertahankan arsitektur aslinya.
Kawasan kota lama: Amsterdam di Timur
Ke arah selatan, melewati jembatan tol, kita akan tiba di lokasi asli kawasan Batavia yang dibangun antara 1634 hingga 1645. Batavia adalah hasil rancangan Gubernur Jenderal Coen, yang berniat membangun Amsterdam versi Timur dan menjadi pusat administrasi dan militer Hindia Belanda.
Objek pertama di kawasan ini adalah jembatan unik khas Belanda. Jembatan kayu berwarna coklat kemerahan ini dikenal sebagai Jembatan Pasar Ayam. Dibangun Belanda tahun 1628 sesuai dengan gaya aslinya di Amsterdam, yaitu bisa diangkat ketika kapal-kapal melintasinya.
Masih di kawasan ini, yaitu Jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur, berjajar bangunan-bangunan dari abad 18, beberpa dari awal abad 20. Kawasan ini merupakan pusat dari benteng Kota Batavia, yang mengalami masa jayanya pada abad 17 dan 18. Beberapa bangunan unik khas Eropa di kawasan ini adalah bangunan Asuransi Lloyd, Standard Chartered Bank, PT Samudra Indonesia, PT. Bhanda, Graha Raksa, dan Toko Merah.
Berjalan ke arah selatan sepanjang Sungai Kali Besar dan berbelok ke arah kiri di Jalan Pintu Besar Utara 3 kita akan tiba di lokasi di mana gedung pusat Bank Indonesia yang lama berdiri. Gaya arsitekturnya khas seperti umumnya bangunan BI di kota-kota di Indonesia, yaitu Neo-Classic, terlihat indah dengan ornamennya dan berwarna putih. Bangunan BI ini dibangun pada awal tahun 1990-an.
Dari BI kita berbelok di Jalan Pintu Besar Selatan dan berjalan ke arah utara, menuju kawasan Taman Fatahillah. Taman Fatahillah merupakan lapangan terbuka berbentuk persegi empat dengan bangunan-bangunan bersejarah di semua sisinya. Di sisi barat terdapat beberapa bangunan unik, salah satunya Museum Wayang (1912) yang di dalamnya dipamerkan koleksi wayang dari seluruh Indonesia dan beberapa negara di dunia. Museum ini dibangun di atas lahan gereja yang didirikan tahun 1640, namun rubuh akibat gempa bumi.
Di sisi utara terdapat sebuah restoran yang menempati bangunan dari awal tahun 1800-an. Di sampingnya, bangunan bergaya art deco yang berfungsi sebagai kantor pos. Di sisi timur berdiri bangunan bergaya Indische Empire Stiijl, bekas gedung pengadilan yang kini berfungsi sebagai Museum Seni Rupa. Di dalamnya dipamerkan koleksi keramik, lukisan, dan gambar-gambar yang menjelaskan perkembangan seni rupa di tanah air.
Di sisi selatan berdiri megah bangunan Museum Sejarah Jakarta. Bangunan unik yang terdiri dari dua lantai ini memamerkan barang-barang asli, replika, gambar-gambar dan foto-foto yang menunjukkan perkembangan sejarah Jakarta dari masa prasejarah hingga kini. Sebetulnya masih ada basement, yang digunakan sebagai ruang tahanan semasa pemerintahan VOC, lengkap dengan rantai-rantai besi asli yang digunakan untuk mengikat kaki para tahanan. Suasana muram, gelap dan pengap yang dirasakan ketika menengok lantai bawah tanah ini sanggup membuat bulu kuduk berdiri membayangkan kondisi sulit para tahanan saat itu.
Museum Sejarah (Stadhuis) dibangun tahun 1620 hingga 1707 atas inisiatif Gubernur Jenderal Coen dan awalnya digunakan sebagai bangunan balai kota semasa VOC berkuasa. Taman Fatahillah yang terletak di depannya menyimpan banyak sejarah, salah satunya pembantaian 5.000 keturunan etnis Cina pada tahun 1740. Penyebabnya karena VOC merasa terancam dengan keberadaan etnis Cina di Batavia yang jumlahnya membengkak, serta naluri bisnis mereka.
Kawasan Kota Tua Jakarta hanyalah salah satu dari beberapa kawasan historis di Jakarta. Masih ada yang lain seperti Glodok (Pecinan), kawasan sekitar Pasar Baru, Medan Merdeka, dan Menteng. Namun bila dilihat dari urutan sejarahnya, kawasan Kota Tua adalah cikal bakal perkembangan dan sejarah Kota Jakarta, sehingga terasa relatif lebih menarik untuk dijelajahi.
MUSEUM BAHARI
Indonesia merupakan negara kepulauan, yang sebagian besar di antaranya, sekitar 3,1 juta km2, merupakan wilayah perairan. Tidak salah kiranya bila sejak zaman baheula, nenek moyang kita telah terkenal sebagai bangsa pelaut.
Salah satu tempat yang pantas dikunjungi untuk melihat sejauh mana kedigdayaan para leluhur bangsa adalah Museum Bahari yang terletak di Jalan Pasar Ikan, Jakarta Utara.
Museum ini memiliki kurang lebih 1670 koleksi dari berbagai aspek kebaharian. Koleksi-koleksinya adalah perahu tradisional (asli dan model) yang terdapat di Nusantara antara lain perahu Bugis, Phinisi, dan Padekawang. Ada pula miniatur perahu Alut Pasa dari Kalimantan dan kapal perang dari Maluku yang terkenal dengan nama Kora-kora.
Selain itu koleksi perahu, museum ini juga menyimpan beragam biota laut, arkeologi laut, perlengkapan nelayan, antropologi dan folklore kenelayanan, serta lukisan para tokoh kebaharian dan informasi maritim penting lainnya.
Patut dicatat, Museum Bahari merupakan satu-satunya museum di Indonesia yang menyajikan tema spesifik kebaharian, dan diresmikan pemakaiannya oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada tahun 1977.
Pada awalnya, gedung yang ada sekarang merupakan gudang rempah-rempah yang dahulu dikenal dengan sebutan Gedung Westzjidsche Pakhuizen. Pembangunan gedung ini memakan waktu lebih dari seratus tahun, dimulai pada 1652 dan berakhir pada 1774.
Museum Fatahillah
Museum Fatahillah Saksi Sejarah
Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah dibangun tahun 1620, dengan menempati areal seluas 13 ribu meter persegi, Bangunannya bergaya arsitektur kuno abad ke-17 yang terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.
Dulu, pada jaman VOC, gedung ini bernama Stadhuis atau Stadhuisplein yang digunakan oleh pemerintahan Belanda sebagai gedung Balaikota, pusat pemerintahan Belanda saat masih berkuasa di Indonesia hingga akhirnya pada tanggal 30 Maret 1974, oleh pemerintah Indonesia, gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah.
Terletak di Jalan
Di masa lalu, selain berfungsi sebagai Balaikota, bangunan ini juga dijadikan sebagai penjara. Terdapat bekas penjara bawah tanah yang dulunya digunakan untuk menjebloskan orang-orang yang melanggar aturan hukum pemerintah Hindia Belanda. Konon, pejuang-pejuang Indonesia seperti Pangeran Diponegoro, pernah menghuni penjara ini. Tanah lapang di depan bangunan Museum Sejarah Jakarta, dikenal dengan nama Taman Fatahillah, merupakan saksi bisu tempat dilaksanakannya eksekusi hukuman gantung bagi ribuan orang Cina yang terlibat dalam pemberontakan melawan Belanda tahun 1740.
Museum Fatahillah hanyalah salah satu di antara makin langkanya bangunan tua dan bersejarah di Ibu Kota, yang menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Indonesia terhadap pemerintah Belanda saat itu. Bangunan Museum Fatahillah ini, menorehkan banyak kenangan bagi mereka yang pernah tinggal, maupun yang hanya singgah di Jakarta tempo doeloe. Hingga kini museum ini masih dikunjungi. Tak hanya oleh wisatawan lokal, namun juga oleh wisatawan mancanegara, khususnya wisatawan Eropa.
Meriam Si Jagur, antara Mitos dan Sejarah
Lama tak terdengar kabarnya, Meriam Si Jagur yang dipajang di Museum Sejarah Jakarta ternyata tetap menarik perhatian pengunjung. Ternyata pula, banyak yang belum tahu riwayat benda bersejarah seberat 3,5 ton dengan panjang 3,85 meter dan diameter laras 25 sentimeter itu. Kok bisa-bisanya dimitoskan sebagai lambang kesuburan? Lho?!
Konon, meriam milik Portugis yang dibuat di Macao itu dibawa dari Malaka ke Batavia pada tahun 1641. "Sewaktu Belanda menyerang Portugis di Malaka, Portugis kalah dan Si Jagur dirampas kemudian dibawa ke Batavia," papar Ketua Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia Historia Asep Kambali.
Sejak itu, tidak pernah ada kabar apakah meriam masih dipakai atau hanya disimpan saja. Belanda sendiri kabarnya tidak pernah menggunakannya sebagai senjata setelah menang pertempuran.
Di Batavia, Si Jagur berkali- kali pindah tempat. Awalnya, Si Jagur diletakkan di Jembatan Gantung Kota Intan, dekat Hotel Batavia di Jalan Kali Besar Barat, Jakarta Barat. Jembatan Kota Intan sendiri juga merupakan tinggalan Belanda yang dibangun tahun 1628. Saat ini jembatan itu oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dijadikan benda cagar budaya yang dilindungi.
Tidak ada penjelasan akurat mengapa sejak ditempatkan di sana, Si Jagur banyak didatangi peziarah yang berharap mendapat keturunan. Ada yang bilang, meriam itu menjadi lambang kesuburan. Mungkin, anggapan itu ada hubungannya dengan tulisan di meriam yang berbunyi "Ex me ipsa renata sum" yang artinya "Dari diriku sendiri, aku dilahirkan lagi".
Menurut warga di Jalan Kali Besar Barat, orang-orang yang belum mendapat keturunan kerap mendatangi jembatan dan memegang-megang bagian tertentu dari Si Jagur. Bagian itu adalah kepalan tangan kanan dengan jempol dijepit oleh jari telunjuk dan jari tengah.
"Mungkin, kepalan tangan ini yang dipikir menjadi simbol begituan sehingga dipercaya sebagai lambang kesuburan," kata pengunjung Museum Sejarah sambil terkikik-kikik.
Dari Jembatan Kota Intan, Si Jagur lalu dipindahkan ke Museum Nasional. Pada tahun 1968, meriam perunggu itu dipindahkan lagi ke Museum Wayang. Pada tahun 1974, kembali meriam dipindah ke Taman Fatahillah, di depan Museum Sejarah. Si Jagur kemudian menjadi tontonan warga sekitar. Taman Fatahillah pun makin ramai. Oleh karena itu, Kepala Museum Sejarah Jakarta Tinia Budiarti berinisiatif memindahkan lagi Si Jagur masuk ke dalam museum pada 24 November 2002.
"Sampai saat ini, Si Jagur masih tetap diminati pengunjung dan menjadi satu koleksi andalan museum. Setiap pengunjung yang datang, Si Jagur selalu kami perlihatkan, lengkap dengan riwayatnya," papar Tinia.
Ada lagi cerita lain tentang Si Jagur. "Katanya, Si Jagur punya jodoh, yaitu meriam lain yang saat ini berada di Keraton Solo dan berjenis kelamin perempuan. Katanya, kalau dua meriam itu disatukan, negara akan subur makmur dan tenteram. Namun, itu bagian mitos lainnya," ujar Kartum Setiawan, mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Indonesia.
Bahkan, menurut Asep, Meriam Si Jagur merupakan peleburan dari 17 meriam dan ditemukan di Kali Ciliwung dekat pasar ikan sebelum diletakkan di Jembatan Kota Intan. Bagian mana yang benar?
BENTENG BATAVIA
Benteng Timur Batavia
Benteng tepi timur
MENURUT penulis buku- buku sejarah
Heuken menuturkan, benteng tepi timur
Menilik dua fungsi yang digunakan untuk gudang bahan makanan dan benteng penjagaan wilayah terlihat ada efisiensi penugasan militer. Tentara yang berjaga itu dapat menjaga keamanan persediaan bahan makanan, sekaligus menjaga batas wilayah.
Benteng tepi timur Batavia ini juga dikenal dengan gudang gandum (graanpakhuizen). Letak gudang ini sekitar ratusan meter setelah Menara Syahbandar dari arah laut. Menara itu sekarang dapat dilihat berada di seberang jalan Gedung Galangan Kapal VOC.
Menurut Heuken, sebetulnya bangunan benteng tepi timur Batavia terdiri atas lebih dari dua bangunan yang letaknya saling berdekatan. Namun, beberapa bangunan lainnya di sebelah selatan bangunan yang tersisa sekarang sudah dibongkar untuk jalur jalan layang Tol RE Martadinata.
Selain benteng tepi timur
Benteng tepi barat
Di benteng tepi timur
Efisiensi militer zaman VOC Belanda waktu itu terlihat jelas. Gudang bahan makanan perlu diawasi tentara, sekaligus tentara itu berjaga untuk pertahanan wilayah Batavia.
DARI perihal pertahanan Batavia ini, Heuken dalam bukunya berjudul Historical Sites of Jakarta yang disadur menjadi buku Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (1995) menceritakan, ada kisah lucu saat penyerangan kedua pasukan Kerajaan Mataram di Yogyakarta ke benteng tepi selatan Batavia (1629).
Kisah lucu ini sebelumnya dilaporkan Johan Neuhoff dalam buku berbahasa Jerman, Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an den Tatarischen Cham, yang diterjemahkan dari naskah Belanda 1666.
Benteng tepi selatan Batavia saat itu terletak di dekat Gereja Portugis di kawasan Stasiun Kota sekarang. “Pada penyerbuan itu, pasukan Belanda tak sanggup lagi mempertahankan kubu karena kehabisan amunisi,” kata Heuken.
Dalam situasi genting itu, lanjut Heuken, Sersan Hans Madelijn dari daerah Pfalz (Jerman) mendapat siasat gila. Ia memerintahkan pasukannya untuk menyiramkan tinja kepada pasukan Kerajaan Mataram yang berusaha memanjat tembok benteng.
Ketika dihantam dengan “peluru” jenis baru itu, pasukan Kerajaan Mataram lari sambil berteriak marah. “Dari peristiwa itu, untuk pertama kali kata-kata Melayu tercatat dalam buku berbahasa Jerman,” kata Heuken.
Mau tahu kata-kata itu?
“O seytang orang Ollanda de bakkalay samma tay!” (Nawa Tunggal)
Gedung Ex Chartered Bank
Gedung tiga lantai yang masih berdiri megah dan kokoh ini merupakan sebuah gedung tua di kawasan Oud Batavia (Kota Tua) Jakarta Kota. Keistimewaan gedung yang terletak di sudut Jalan Kalibesar Barat No 1-2 di atas areal 2.275 m2 memiliki ciri kubah seperti terlihat dalam foto. Gedung ini dibangun pada 1920-an, saat ekonomi Hindia Belanda maju pesat terutama dari hasil ekspor berbagai komoditas pertanian seperti karet, teh, kopi, tembakau, yang laku keras di pasaran dunia.
Kalibesar Barat, yang pada awalnya merupakan permukiman Cina, digantikan dengan gedung perkantoran seperti perusahaan John Peet & Co, Maintz & Co, Chartered Bank of India, Australia, Cina dan lain-lain. Perletakan batu pertama gedung yang telah berusia 3/4 abad, dilakukan pada 27 Februari 1921 oleh anak perempuan dari Manager Chartered Bank of Batavia: Juice Murray Stewart.
Kalau kita menelusuri kawasan Kalibesar, kita masih menjumpai gedung-gedung tua yang dibangun saat kejayaan
Gedung yang berlokasi tidak jauh dari gedung Balai Kota lama (kini Museum Sejarah DKI Jakarta), menggunakan konstruksi beton dan dinding bata. Dari kejauhan sosok gedung dengan bentuk kubahnya yang menutupi seluruh ruang sudut depan di lantai tiga, terlihat masih sangat megah. Suasana lingkungan sekitar gedung yang hampir dipenuhi oleh bangunan-bangunan lama memang sangat kondusif sebagai bagian dari kawasan Oud Batavia yang perlu dilestarikan. Sehingga banyak wasatawan asing dan domestik yang mengunjungi gedung ini.
Memasuki bagian dalam gedung Chartered Bank, yang pernah menjadi bank terkemuka di Hindia Belanda setelah De Javasche Bank, terdapat sejumlah lukisan kaca patri yang menggambarkan aktifitas manusia, seperti: orang pergi ke pasar, membawa getah karet, menumbuk padi, membawa ikan. Kaca patri ini dibuat oleh J Sabel's en Co yang pusatnya di Haarlem, Belanda. Di dalam gedung kita juga menjumpai prasasti perletakan batu pertama 27 Pebruari 1921.
Kota Batavia lama (Oud Batavia) tidak begitu luas. Luasnya dari daerah Menara Syahbandar di Pasar Ikan sampai Jl Asemka. Pusatnya adalah bekas Balaikota Lama (Stadhuis). Di dekat gedung Chartered Bank terdapat Toko Merah, yang dulu merupakan gedung mewah dan menjadi tempat kediaman Gubernur Jenderal van Imhoff, yang keturunan Jerman. Kawasan Kalibesar menyaksikan sejarah kelam kota Jakarta, ketika pada 1740 rumah-rumah warga Cina dibakar dan penghuninya dibunuh tanpa ampun. Laporan-laporan yang dapat dipercaya memperkirakan sekitar lima ribu sampai 10 ribu warga Cina mati secara mengenaskan. Termasuk pasien rumah sakit, para bayi dan 500 warga Cina yang berada di penjara.
Sampai 1809, Batavia merupakan kota berbenteng yang dikelilingi tembok dan parit (Kanal). Sejak pertengahan abad ke-19 setelah Gubernur Jenderal Daendels memindahkan kota ke arah selatan (Weltevreden) penduduknya meningkat pesat. Pada 1870 penduduk Batavia 160 ribu jiwa, 1920: 300 ribu jiwa, dan 20 tahun kemudian meningkat lebih dua kali lipat jadi 650 ribu jiwa. Kini penduduk Ibu Kota diperkirakan lebih 8 juta (malam hari) dan 13 juta (siang hari). Berarti 5 juta warga dari Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang, turut andil dalam mengootori dan membuat polusi di Jakarta.
STASIUN BEOS
Tentang BEOS ...
Stasiun kereta api ini dulunya biasa disebut dengan nama B.O.S = Bataviasche Ooster Spoorweg [Batavia Eastern Railway], namun bagi penduduk Jakarta tempo dulu, stasiun ini sering dilafalkan dengan Bé-OS. Kini nama stasiun ini dikenal dengan nama STASIUN JAKARTAKOTA.
Stasiun ini didirikan pada tahun 1929.
Stasiun Beos merupakan salah satu landmark kota Jakarta Tua, didirikan pada awal tahun 1930an, yang juga merupakan lambang dari arstitektur bergaya modern pada masa itu. Merupakan pusat dari semua perjalanan kereta api pada masanya dan juga merupakan stasiun pertama yang dibuat.
Merupakan satu kesatuan dengan gedung disekelilingnya seperti Musium Fatahillah (dulunya merupakan gedung pemerintahan), Musium Seni Rupa (dulunya merupakan Gedung Pengadilan, didirikan tahun 1871), Musium Wayang (dulunya merupakan gereja), Stasiun Beos tidak dapat dilepaskan bahwa ia adalah satu dari saksi kejayaan Batavia Tempo Doeloe dan juga saksi dari perjalanan perkembangan kota Jakarta hingga sekarang ini.
KALI BESAR
Patokan yang paling mudah menuju Kalibesar adalah Taman Fatahillah. Dari Taman Fatahillah cukup dengan berjalan kaki lewat jalan Kalibesar Timur IV atau V yang ada disisi barat Taman Fatahillah. Lima menit sampai di Jalan Kalibesar, tanda-tandanya ada kali yang diapit jalan dengan deretan bangunan tua.
Kalau baca buku-buku sejarah kota Jakarta, pada abad 17 Kalibesar adalah daerah elit sentra bisnis perdagangan . Kalibesar disebut Grootegracht yang artinya sama dengan kalibesar. Kali ini sebelumnya berkelok-kelok dan diluruskan pada tahun 1632. Banyak rumah-rumah Cina yang dibangun disini, kalinya menjadi urat nadi lalulintas kapal bongkar muat barang. Tapi sayang ketika terjadi huru-hara Cina pada tahun 1740, banyak rumah yang dibakar hangus.
Setelah huru-hara, kiri-kanan Kalibesar dibangun kembali. Bangunan-bangunan yang kini terlihat sebagian besar dibangun sejak tahun 1870 hingga awal abad 20. Arsitekturnya cukup unik berderet-deret menempel, pada bagian depan setiap bangunan terdapat tudung (canopy) yang saling berhubungan dengan bangunan sebelahnya sehingga membentuk koridor. Nyaman untuk pejalan kaki.
Pada jalan Kalibesar Barat paling pojok bagian selatan terdapat terdapat bangunan besar yang menjadi landmark bergaya neo klasik Yunani. Yang menarik dari bangunan ini adalah adanya arcade yang terlidung dari terik matahari dan hujan. Sayang bangunan ini sekarang tidak berfungsi alias kosong melompong. Disebelahnya ada bangunan berwarna kuning tipe cornice house Amsterdam. Gaya yang nyaris sama bisa dilihat pada bangunan Toko Merah, bangunan ini sangat terkenal sejarahnya sebab pernah menjadi tempat tinggalnya gubernur jenderal VOC yang namanya Baron von Inhoff (1743-1750).
Pada sisi Jalan Kalibesar Timur, tidak kalah cantiknya dengan Kalibesar Barat, yang paling menonjol adalah bangunan yang memiliki dua menara yang dibangunan pada awal abad 20, didepannya ada tulisan Perusahaan Tjipta Niaga, tapi kalau anda masuk bangunan ini kosong. Boleh sih masuk, buat foto-foto, tapi izin dulu sama penjaganya ya.
Di tepi Kali Besar saat ini ditanami pohon-pohon palem raja dan diberi bangku-bangku dengan jarak tertentu. Tempatnya sesungguhnya jadi lebih lega, luas dan nyaman untuk wisata jalan kaki disana. Di Jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur, berjajar bangunan-bangunan dari abad 18, beberapa dari awal abad 20. Kawasan ini merupakan pusat dari benteng Kota Batavia, yang mengalami masa jayanya pada abad 17 dan 18. yang dibangun antara 1634 hingga 1645.
Batavia adalah hasil rancangan Gubernur Jenderal Coen, yang berniat membangun Amsterdam versi Timur dan menjadi pusat administrasi dan militer Hindia Belanda. Beberapa bangunan unik khas Eropa di kawasan ini adalah bangunan Asuransi Lloyd (ada tulisannya Assurantie Kantoor), Standard Chartered Bank, PT Samudra Indonesia, PT. Bhanda, Graha Raksa, dan Toko Merah.
TOKO MERAH
Toko Merah merupakan salah satu dari 216 monumen cagar budaya yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta yang dibangun pada tahun 1730 oleh Gustaff Willem Baron van Imhoff, Gubernur Jenderal VOC, sebagai rumah tinggal yang kembar sifatnya. Selanjutnya, Toko Merah kemudian seringkali digunakan menjadi tempat penginapan bahkan perkantoran hingga saat ini.
Asal-usul sebutan Toko Merah sendiri memiliki kisah panjang. Namun, nama resmi yang diberikan oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta bagi bangunan tua ini adalah Toko Merah.
Sebelumnya, gedung tersebut pernah bernama Hoofd Kantoor Jacobson van den Berg. Dinamakan demikian karena digunakan sebagai gedung kantor pusat dari NV. Jacobson van den Berg, salah satu perusahaan the big five milik Belanda yang pernah jaya di zamannya.
Namun ternyata, nama Toko Merah telah jauh lebih populer. Hampir semua kepustakaan Belanda yang menulis mengenai Batavia Lama dan menyinggung mengenai tata bangunan era VOC menggunakan sebutan Toko Merah dan bukan Red Shop dalam bahasa Inggris atau Rode Winkel dalam baha Belandanya.
Awal penggunaan nama Toko Merah bagi gedung tua ini bermula pada salah satu fungsi yang diembannya sebagai sebuah toko milik seorang warga Cina. Tepatnya pada tahun 1851, seorang warga Cina, Oey Liauw Kong menjadi pemilik bangunan ini dan menjadikannya sebagai rumah toko (ruko). Hal ini memberi pengaruh arsitektur Cina yang kental. Tembok depan bangunan yang terbuat dari susunan batu bata yang tidak diplester kemudian dicat dengan warna merah hati ayam.
Karena warnanya itulah, bangunan tua tersebut lebih populer dengan sebutan Toko Merah. Toko Merah, menurut Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI Jakarta, kualitas arsitekturnya bisa dikatakan yang terbaik di antara bangunan-bangunan bersejarah di DKI Jakarta.
Melindungi Toko Merah
Begitu berharganya nilai sejarah bangunan ini, maka pemeritahan terdahulu berusaha mengeluarkan peratuan-peraturan untuk melindungi dan melestarikan Toko Merah dan gedung-gedung bersejarah lainnya secara umum di wilayah DKI Jakarta.
Sebagai contoh, sejak pemerintahan kolonial Belanda, bangunan tua dan bersejarah telah diupayakan untuk dilindungi dan dijaga kelestariannya terutama nilai-nilai sejarahnya, seni dan budayanya dengan dikeluarkannya Monumenten Ordonantie tahun 1931 (Staatsblad No. 238/1931) dan telah diubah dengan Monumenten Ordonantie No. 21 thaun 1934 (Staatsblad Tahun 1934 No. 515).
Upaya yang sama juga dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta pada masa itu
Ali sadikin yang sangat concern dengan bangunan-bangunan kuno di DKI Jakarta. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No.cb.11/1/12/72, tanggal 10 Januari 1972 yang intinya menetapkan tentang pemugaran dan pelestarian bangunan-bangunan kuno yang bersejarah.
Akan tetapi, dalam perjalanan sejarahnya, usaha pemerintah pada masa terdahulu ternyata hanya berlaku pada masa itu saja. Kenyataannya satu per satu bangunan bersejarah mulai hilang ditelan pembangunan kota.
Tak satu pun yang dapat menunjukkan di mana keberadaan bangunan Kastil Batavia, Hotel Des Indes, Societat Harmonie. Semua bangunan tua yang disebutkan itu sudah hilang tanpa bekas, rata dengan tanah.
Akankah Toko Merah dan bangunan-bangunan bersejarah lainnya akan bernasib sama? Hanya pemerintah dan kesadaran masyarakat akan nilai sejarah yang mampu menjawabnya.
NAMA JALAN DI OUD BATAVIA
Dari Amsterdamstraat ke Tijgerstraat
Sebelum pendudukan Jepang (1942-1945), jalan di Jakarta banyak memakai nama Belanda. Baik itu nama kota, pelabuhan, tempat, bendungan, dan tokoh masyarakat. Tidak heran kalau nama raja, ratu, putra mahkota, atau pahlawan bangsa Oranye (Belanda) diabadikan untuk nama adimarga, jalan, gang, atau taman.
Tidak terkecuali para mantan gubernur jenderal di Hindia Belanda, peneliti, dan mereka yang berjasa pada pemerintah kolonial Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, hampir seluruh nama jalan dan tempat di ibu kota diganti dengan bahasa Jepang. Tetapi, masyarakat sudah terbiasa memakai nama-nama lama.
Di pasar ikan Jakarta Utara hampir di seluruh daerah 'kota tua' ini nama jalan, tempat, dan parit, umumnya berhasa Belanda. Seperti Kalibesar Timur, dulu bernama Amsterdamstraat. Lalu di manakah Binnen Nieuwpoorstraat? Nama itu sekarang menjadi Pintu Besar Utara. Dulu di sini terdapat gedung Escompto, bank kedua terbesar setelah Javasche Bank. Sedang Jl Pintu Besar Selatan dulunya Buiten Nieuwpoorstraat. Dinamakan pintu besar, karena di sini dulunya terdapat pintu benteng besar.
Sedangkan di dekatnya bernama Jl Pintu Kecil, karena pintu untuk memasuki benteng lebih kecil. Di ujung jalan Pintu Besar Utara, berbelok ke arah kiri dari terminal agkutan darat Kota Intan, terdapat Gerbang Amsterdam (Amsterdam Gate). Di kiri kanan gerbang ini terdapat dua patung Mars dan Minerva memegang pedang setinggi manusia. Kedua patung ini hilang pada pendudukan Jepang. Sedangkan pintu gerbang itu digusur tahun 1950-an karena dianggap menyempitkan lalu lintas. Jalan Pinangsia I, di kawasan perdagangn Glodok, kala itu bernama Financientstraat. Sedangkan Jl Pinangsia Raya dulu bernama Tijgerstraat.
Jl Mangga Dua, yang menjelang lebaran ini pusat pertokoannya tiap hari didatangi ratusan ribu orang, bernama Gelderlandschweg. Masih di kawasan kota, Jl Tiang Bendera, bernama Malaischegracht atau berarti 'parit Melayu'. Mencermati peta-peta tempo doeloe, banyak sekali nama-nama gracht atau parit di Batavia.
Negeri Belanda yang berada di bawah permukaan laut, memiliki banyak ahli bendungan dan pengairan, yang kemudian diterapkan untuk membangun Batavia. Seperti Spinhuisgracht yang kini lokasinya di Jl Petak Asem dan Jl Tiang Bendera II. Konon nama Jl Tiang Bendera itu lantaran di tempat ini tinggal kapiten Tionghoa. Setiap bulan, saat orang Tionghoa harus membayar pajak, si kapiten dari kediamannya menaikkan bendera. Tugas kapiten ini termasuk menagih pajak pada warga yang dipimpinnya.
Menyusuri ke arah lebih utara, beberapa daerah yang berada di dalam benteng atau berdekatan, boleh dikata semua jalan dan tempat memakai bahasa Belanda. Seperti Princestraat (Jl Cengkeh), Leeuwinenstraat (Jl Kunir), Kasteelweg (Jl Tongkol), Kanalweg (Jl Pakin), Landhuisweg (Jl Tambak), dan masih banyak lagi nama jalan dan tempat berbau Belanda. Selama dua abad (1619-1808) seluruh aktivitas kegiatan Belanda berlangsung di dalam benteng. Termasuk perdagangan dan hukum dikonsentrasikan di sini.
Sampai awal abad ke-20, Princestraat dan sekitarnya banyak terdapat gedung bergaya Eropa. Tempat lokasi perkantoran, pertokoan, perdagangan, dan berbagai perusahaan Eropa. Pada siang hari, kawasan ini sangat ramai, tetapi --saat-saat jam kantor berakhir-- perlahan-lahan kawasan ini menjadi lengang. Karena, para pengusaha Eropa pada awal abad ke-19, kecuali untuk perkantoran, sudah tidak lagi tinggal di kawasan ini. Mereka umumnya hijrah ke selatan, yakni ke Molenvliet (Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk) yang dianggap lebih sehat.
Para pengunjung Eropa yang tiba melalui laut, sebelum dibangunnya pelabuhan Tanjung Priok (1885), setibanya di pelabuhan Sunda Kelapa akan menuju Weltevreden melalui Princestraat. Karena dianggap sebagai sarang penyakit, Gubernur Jenderal Daendels saat memerintah (1808-1811) telah menghancurkan dan memporakporandakan 'kota lama' Batavia ini.
Bagaimana keadan kota yang pernah mendapat julukan 'Ratu dari Timur', setelah menjadi reruntuhan? Seorang pendatang dari Eropa yang ada di Batavia pada awal abad ke-19 menceritakan pengalamannya saat baru turun dari kapal di pelabuhan Sunda Kelapa.
''Kota Batavia bukan lagi metropolis terkenal masa lampau. Sebagian terbesar dari rumah dan bangunan yang paling penting telah dirobohkan. Sebagian besar dinding kota rata dengan tanah, dan gerbang-gerbangnya hancur. Kota ini tinggal sebuah desa dikelilingi parit-parit lebar. Princenstraat (Jl Cengkeh-red) daerah paling elite di Batavia kini tak lebih dari sebuah jalanan lengang dengan beberapa buah rumah di kiri-kanan yanng dekat ke pusat kota,'' tulis Weistzel, pendatang dari Eropa itu.
Pada tahun 1815, Couperus, seorang pelancong Eropa lainnya melukiskan sebagai berikut. ''Dahulu Tijgergracht yang indah, tetapi kini keindahannya sudah hilang. Semua bangunan aneka warna dengan gaya Eropa di Princestraat dengan parit dan pepohonan di kiri kanannya, kini telah rata dengan tanah.'' Padahal, kata pelancong itu, Tijgergrach yang merupakan bagian kota paling indah, tidak kalah dengan kota Amsterdam di Negeri Belanda.
Yang jelas, sekalipun Daendels telah menghancurkan kota lama, dan memindahkannya ke selatan, tapi tidak mengurangi kegiatan ekonominya. Kawasan Glodok hingga sekarang merupakan salah satu pusat ekonomi dan perdagangan paling penting di Jakarta. Sebutan 'kota' untuk daerah ini berasal dari kata 'kota' berbenteng.
Glodok
Kata Glodok itu sendiri berasal dari nama air yang berbunyi Glodok-glodok atau grojok-grojok. Air tersebut terdapat di sebuah kebun yang dinamakan orang Kebon Torong, bahkan, sampai sekarang Kebon Torong merupakan salah satu jalan di kawasan
Dalam perkembangan selanjutnya, tempat pemberhentian kuda itu dinamakan orang Glodok. Hal ini disesuaikan dengan bunyi air yang glodok-glodok terus.
Bunyi suara air tersebut “glodok,glodok………..” Semakin lama semakin nyaring terdengar, bahkan (kawasan) glodok bukan hanya sebatas (ibarat) aliran air, tetapi seperti sebuah “kepala naga” dengan semburan panas api yang keluar dari mulutnya.
Karena Glodok masih dipandang sebagai barometer ekonomi di
Sebelum dikenal sebagai pusat perdagangan, Glodok dulunya dibangun oleh pemerintah Belanda sebagai perkampungan orang Tionghoa. Pada saat itu, Glodok dikelilingi oleh kuburan sehingga jika ada pelebaran kampung selalu timbul permasalahan. Di samping itu, tradisi mereka ialah mendirikan makam di atas bukit, sehingga tanah disekelilingnya harus dikeruk. Jika musim hujan, kawasan tersebut menjadi sarang nyamuk.
Belanda akhirnya mengambil tindakan. Makam-makam orang Tionghoa tersebut dipindahkan ke luar
Dengan ditunjuknya daerah Glodok menjadi tempat pemukiman orang Tionghoa, timbul berbagai perubahan. Sungai sungai buatan (kanal) ditutup dijadikan tempat pemukiman dan usaha misalnya daerah Areeksgracht diubah namanya menjadi Kongsi Besar. Kemudian Sirihgracht yang terletak di sebelah selatan diubah namanya menjadi Tongkaran dan di sebelah utara menjadi Petak Baru.
Adapun nama Petak Baru berasal dari 80 petak yang dibangun kompeni pada tahun 1776. Sebagian dari petak tersebut dijual kepada orang-orang Eropa dan selebihnya kepada orang-orang Tionghoa. Daerah itu sekarang bernama Blandongan, letaknya di pinggir kali krukut. Adapun nama Blandongan berasal dari kata “Tandung” yang artinya jalan berliku-liku. Sedangkan pasar ini dimulai pada tahun 1812, kemudian oleh pemerintah Belanda dijual kepada B. Van Son, tetapi pada tahun 1813 penjualan pasar tersebut dinyatakan tidak berlaku. Kemudian pasar tersebut dibeli oleh Lim Tong Han.
Glodok punya sisi lain yang tidak kalah menariknya, yaitu situs klenteng dengan kehidupan masyarakatnya. Fenomena Pacinko (Pasukan Cina Kota) yaitu anak-anak muda yang sering ngebut-ngebutan bermotor dulunya merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Glodok.
Klenteng Jin Deyuan merupakan tempat komunitas masyarakat Tionghoa yang menganut agama Tao. Klenteng tersebut bukan satu-satunya, karena masih ada beberapa yang tidak kalah menariknya, terutama bagi turis-turis asing, yaitu Klenteng Dharma Bakti (Tao Se Bio). Dharma Sakti, dan Hui Tet Bio. Klenteng tersebut dibangun sekitar tahun 1650-an.
Selain klenteng, ada “Tjap Gledek” yang dulunya digunakan sebagai balai pengobatan umum, sekarang makin dilupakan. Tjap Gledek, sekarang ini sudah seperti tempat penampungan gelandangan Glodok. Bagaimana tidak, hampir setiap malam, banyak para tuna wisma menggelar alas koran untuk tidur di emperan tersebut. Tjap Gledek dulunya merupakan salah satu landmark kawasan Glodok.
Perkembangan fisik Glodok berawal dari satu kelurahan saja yang luasnya sekitar 37,6 hektar yang meliputi 66 RT. Sedangkan perkembangan pasarnya semula kecil kemudian berkembang menjadi beberapa tingkat, bahkan multi blok.
Glodok dijadikan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai tempat pemukiman orang-orang Tionghoa, mereka membangun tempat peribadatan dan tempat tinggal dengan langgam arsitektur leluhumya yang dari Tiongkok.
Berdasarkan keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 111-b/11/4/56/1973 bahwa lingkungan Glodok diawasi oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman d.h.